Pendidikan memiliki tugas penting dalam mempersiapkan generasi muda untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Peran lembaga sosial seperti pendidikan dalam mengakui hak dan tugas kewarganegaraan adalah hal yang sama yang disebut sebagai pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian penting dari pendidikan yang mendorong warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat demokratis dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, melaksanakan hak dan melaksanakan tugas. Pendidikan kewarganegaraan mencakup semua aspek kehidupan sekolah, termasuk kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan ekstrakurikuler, diskusi dan kegiatan organisasi siswa. Pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya adalah pendidikan nasional atau pendidikan karakter bangsa (Wijaya, 2018).
Pendidikan kewarganegaraan dirancang secara pragmatis sebagai mata pelajaran yang menekankan pada penanaman nilai-nilai yang diperoleh melalui pengemalam belajar yang kemudian diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yang merupakan kebutuhan warga negara dalam masyarakat, negara, dan kehidupan sosial. status. Pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu perencanaan untuk mempersiapkan generasi muda memasuki kehidupan nyata sebagai warga negara yang dewasa. Secara luas, Pendidikan Kewarganegaraan dinyatakan sebagai sebuah proses dalam melatih generasi penerus bangsa sebagai warga negara untuk memiliki sikap yang bertanggung jawab, termasuk pendidikan sekolah, belajar mengajar. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membentuk warga negara yang berprestasi yang memahami dan dapat menunaikan kewajibannya sebagai warga negara, tidak terkecuali Indonesia (Dewi, 2020).
Pendidikan Kewarganegaraan menekankan peran warga negara sebagai aktor kunci dengan hak dan tanggung jawab dan bertujuan mempersiapkan mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat melalui pengembangan dan pembelajaran pemberdayaan keterampilan, pengetahuan dan sikap. Dari perspektif negara, pendidikan kewarganegaraan merupakan sarana penting untuk melestarikan dirinya sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Levinson dalam Mendes (2020), manusia tidak dilahirkan di bawah bentuk pemerintahan tertentu dan karena itu tidak mungkin secara alami mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan disposisi yang diperlukan untuk mempertahankannya. Ini relevansi khusus dengan negara-negara demokratis, karena agar demokrasi berfungsi secara efektif, warga negara memerlukan tingkat dukungan tertentu dari nilai-nilai dan norma-norma yang melekat pada rezim demokrasi.
Tujuan operasional pembelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah untuk (1) meningkatkan pemahaman tentang demokrasi serta nilai-nilai dan prinsip dasarnya, (2) mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi sebagai warga negara yang berpengetahuan, efektif dan bertanggung jawab, dan (3) meningkatkan kesediaan peserta didik untuk menggunakan pengambilan keputusan dan prosedur demokratis untuk mengelola konflik. Disisi lain, Pendidikan Kewarganegaraan juga bertujuan untuk mewujudkan bangsa yang warga negara yang mampu, berpengetahuan dan berdaya yang di satu sisi mengetahui, memahami, dan dapat menegakkan hak-haknya, serta menuntun masyarakat menuju pribadi yang aktif dalam memperkuat masyarakat (Wijaya, 2018).
Pendidikan Kewarganegaraan yang baik memungkinkan peserta didik untuk menikmati hak dan kebebasan mereka, membuat mereka menghormati kebebasan orang lain, memungkinkan mereka secara sadar melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka, menghormati aturan hukum, dan berusaha untuk memecahkan masalah masyarakat. Oleh karena itu, Pendidikan Kewarganegaraan membantu peserta didik untuk mengetahui hak-hak apa yang mereka miliki dan tanggung jawab yang dipercayakan kepada mereka sebagai anggota suatu negara (Bayeh, 2016).
Pendidikan Kewarganegaraan menjadi penting dalam memelihara persatuan dan kesatuan bangsa melalui pendidikan. Dalan Pendidikan Kewarganegaraan, siswa diperkenalkan dengan berbagai materi tentang bagaimana agar menjadi warga negara yang baik, peraturan apa saja yang ada di Indonesia serta bagaimana cara mematuhi peraturan tersebut, dan sebagainya. Anak didik diperkenalkan dengan aturan dan kebudayaan masyarakat Indonesia dalam menjalani kehidupan yang berhubungan dengan sesama masyarakat (Sunarso, 2009). Dalam sudut pandang masyarakat, Pendidikan Kewarganegaraan menjadi landasan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat agar memiliki sikap toleransi terhadap perbedaan, memiliki sikap tenggang rasa, membangun empati terhadap sesama, memeliharan persatuan dan kesatuan bangsa, dan lain-lain.
Pancasila sebagai ideologi bangsa yang menjadi acuan dalam menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat penting untuk ditanamkan melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Penanaman nilai-nilai Pancasila diharapkan dapat menumbuhkan wawasan bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan ideologi negara. Karakter masyarakat yang ditekankan melalui Pancasila yaitu memiliki sifat yang religious, jujur, bertanggung jawab, memiliki sikap toleransi, taat terhadap aturan, berpikir kreatif, mampu bekerja keras, demokratis, serta memiliki semangat kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air (Izma, 2019).
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan yang kita peroleh dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, kita mendapatkan semua materi agar menjadi warga negara yang baik. Seperti tidak melakukan tindak kejahatan yang nantinya akan merugikan orang lain, rutin membayar pajak untuk mendukung pembangunan fasilitas negara yang nantinya juga akan turut dirasakan oleh masyarakat, menjalin kehidupan bermasyarakat yang baik dengan lingkungan sekitar, dan sebagaimana. Melihat banyaknya manfaat yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa pendidikan terutama Pendidikan Kewarganegaraan menjadi dasar agar kita dapat menjadi warga negara yang baik dengan tidak merugikan orang lain dan membantu orang lain jika mengalami kesulitan.
Pendidikan Kewarganegaraan tidak hanya diperoleh peserta didik melalui pendidikan formal, tetapi semua warga negara memiliki hak untuk mendapatkan Pendidikan Kewarganegaraan termasuk tahanan dalam lembaga pemasyarakatan. Pendidikan dalam lembaga pemasyarakatan berfungsi untuk meningkatkan keterampilan dan menyiapkan tahanan untuk pekerjaan setelah dibebaskan. Tidak diragukan lagi, para tahanan termasuk yang paling dikucilkan dalam masyarakat; jika hanya karena tindakan pemenjaraan itu sendiri secara fisik, sosial dan psikologis menjauhkan mereka dari masyarakat. Pengecualian sosial mengakibatkan ketidakberdayaan, kesempatan hidup yang terbatas dan kualitas hidup yang berkurang. Dalam kasus narapidana, kesulitan-kesulitan tersebut diperparah dengan penggambaran negatif yang berkelanjutan tentang kehidupan pribadi, nilai-nilai, dan komunitas mereka (Costelloe, 2014).
Pendidikan Kewarganegaraan yang didapatkan oleh narapidana dengan pemahaman dan kapasitas untuk menjadi lebih berpikiran terbuka dan adaptif, dan diperlengkapi untuk menolak kesalahpahaman yang dipegang sebelumnya dan sistem nilai yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Narapidana dapat memperoleh keterampilan dan mengembangkan kapasitas untuk mengungkapkan bagaimana praanggapan mereka dikonstruksi secara sosial, Tanpa kemampuan dan keterampilan ini, narapidana akan berjuang untuk menjadi individu yang bertanggung jawab secara moral dan sipil yang mengakui bahwa mereka adalah bagian integral dari tatanan sosial yang jauh lebih luas. Waktu yang dihabiskan di penjara akan menjadi kesempatan yang sia-sia dan hanya akan berfungsi untuk membuktikan kepada narapidana bahwa mereka bukan dan mungkin tidak akan pernah menjadi anggota masyarakat yang berharga. Mereka akan terus menganggap kewarganegaraan aktif sebagai hal yang tidak relevan bagi mereka, mereka akan gagal untuk menyadari bahwa keberhasilan masyarakat adalah milik mereka juga, sama seperti mereka akan gagal untuk memahami bahwa masalah masyarakat juga merupakan tanggung jawab mereka. Mereka akan berjuang untuk mempertimbangkan secara mendalam dimensi moral dan sipil untuk tindakan dan perilaku mereka, dan dengan demikian gagal untuk mengakui bahwa dengan hak datang tanggung jawab (Costelloe, 2014).